Tampilkan postingan dengan label Fragmen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fragmen. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 November 2014

Kanjeng Pangeran Aryo Abdurrahman Wahid

Solo, Pondok Pesantren Pabuaran. Setahun setelah dilengserkan dari kursi kepresidenan, tepatnya pada 9 Oktober 2002, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendapatkan undangan dari Keraton Kasunanan Surakarta, bersamaan dengan peringatan naiknya tahta Paku Buwono (PB) XII yang ke-57.

Tidak hanya itu, dalam kesempatan tersebut Gus Dur mendapatkan gelar kehormatan Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), sebuah gelar gelar tertinggi yang pernah diberikan keraton kepada orang yang bukan kerabat asli istana penerus dinasti Mataram tersebut.

Kanjeng Pangeran Aryo Abdurrahman Wahid (Sumber Gambar : Nu Online)
Kanjeng Pangeran Aryo Abdurrahman Wahid (Sumber Gambar : Nu Online)


Kanjeng Pangeran Aryo Abdurrahman Wahid

Saat itu tidak ada prosesi istimewa, penganugerahan gelar bersama yang lain, hanya saja gelar yang disematkan kepada Gus Dur ini berbeda, terang Sekretaris PW GP Ansor Jawa Tengah, Sholahudin Aly, kepada Pondok Pesantren Pabuaran beberapa waktu lalu.

Gus Dur sendiri saat ditanya mengenai pemberian gelar ini mengaku tidak mengetahui alasan pasti pemberian gelar KPA ini kepadanya. Namun Gus Dur mengaku sebelumnya tidak pernah berharap untuk mendapat gelar ini.

Pondok Pesantren Pabuaran

Pondok Pesantren Pabuaran

La wong kehormatan kok. Ngarep-arep wae ora wani (berharap saja tidak), kata Gus Dur, sebagaimana tertulis di beberapa koran lokal, ketika itu.

Memelihara Tradisi

Meski demikian, Gus Dur memberikan makna tersendiri atas gelar ini. "Menerima gelar itu untuk melestarikan budaya daerah. Itu secara umum. Kalau kesan secara pribadi yang sangat dalam sekali, yang saya juga belum habis mengkajinya. Bagi saya ini adalah sebuah penghormatan bagi jalan hidup yang saya pilih, yakni supaya selalu menyerasikan Islam dengan budaya daerah, lanjutnya.

Gus Dur juga berharap dari pemberian gelar itu, akan tercipta hubungan yang baik antara Keraton dan Islam.

Dengan saya diakoni oleh keraton berarti hubungan Islam dan kekuasaan multikratonik. Dalam arti, bisa ngritik. Dulu ada keraton seperti ini, lalu ada keraton kecil-kecil, yakni pesantren-pesantren, ujar dia.

Satu harapannya, Keraton Surakarta dapat meneruskan tradisi. Itu sangat penting, terutama menyangkut teori multikratonik, antara agama dan budaya. Selama ini Kraton telah menjadi pemelihara dan pelestari budaya. Kalau ada yang hilang maka kebudayaan di daerah kita ini akan terganggu, papar Gus Dur. (Ajie Najmuddin)

Sumber terkait :

Harian Suara Merdeka edisi cetak, 10 Oktober 2002.

Wawancara Ketua Gusdurian Jateng, Hussein Syifa, 5 November 2014.

Dari (Fragmen) Nu Online: http://www.nu.or.id/post/read/56554/kanjeng-pangeran-aryo-abdurrahman-wahid

Rabu, 01 Oktober 2014

Inilah Majalah Guru NU Tahun 60-an

Majalah Dunia Pendidikan diterbitkan oleh Pucuk Pimpinan Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PP Pergunu). Edisi perdana mulai 17 April 1969, dan edisi terakhir (No.7), April 1970. Penerbitan majalah ini dianggap sebagai momentum kedewasaan Pergunu memasuki usia 17 tahun (berdiri Mei 1952). Memang singkat.

Namun sedikit banyak mengandung torehan sejarah masa kejayaan partai NU . Sebagai badan otonom, Pergunu telah mampu meneruskan kiprah NU dalam dunia media cetak. NU sendiri, hingga tahun 1972, punya organ resmi Harian Duta Masyarakat yang memiliki peran fenomenal selama tahun 1960-1965.

Inilah Majalah Guru NU Tahun 60-an (Sumber Gambar : Nu Online)
Inilah Majalah Guru NU Tahun 60-an (Sumber Gambar : Nu Online)


Inilah Majalah Guru NU Tahun 60-an

Duta Masyarakat dikemudikan KH Saifuddin Zuhri (Pemimpin Umum) dan H. Mahbub Djunaidi (Pemimpin Redaksi), telah mengisi kekosongan media umat Islam, setelah partai Masyumi dibubarkanj (Agustus 1960) dan corong resminya Harian Abadi diberangus akibat pengaruh kuat Partai Komunis Indonesia. Sejak itu, Duta Masyarakat praktis menjadi penyambung suara umat Islam. Bukan hanya Nahdliyyin saja. Ketika Buya Hamka, sebagai pengarang buku novel Tenggelamnya Kapak van der Wijck dibantai habis-habisan oleh kaum komunis melalui koran Harian Rakyat, dan Warta Bhakti, plus Sulindo (corong PNI), Duta Masyarakat tampil menjadi pembela terdepan Hamka. Memuatkan tulisan-tulisan yang mendukung Hamka sambil balik menyerang komunis. Fakta ini, dapat ditelusuri dalam buku Tenggelamnya Kapal van der Wijkck dalam Polemik (Bulan Bintang, 1967).

Untuk menyalurkan aspirasi pendidik dan pendidikan secara khusus, PBNU merestui penerbitan Dunia Pendidikan oleh Pergunu. Sasaran pembacanya, adalah guru-guru madrasah atau sekolah umum yang menjadi aktivis NU. Pada nomor-nomor awal, disebutkan Dunia Pendidikan dicetak 10.000 eksemplar. Mulai nomor 7 meningkat menjadi 15.000 eksemplar. Suatu hal yang wajar,mengingat jumlah anggota Pergunu puluhan ribu orang. Pendistribusian juga cukup mudah, karena NU d/h Pergunu menguasai Departemen Agama RI.

Pondok Pesantren Pabuaran

Waktu itu, Menteri Agama adalah KH Ahmad Dahlan, yang juga Ketua IV PBNU di bawah Ketua Umum PBNU KH.DR.Idham Chalid. Dari pusat hingga ke pelosok (KUA), semua NU. Pengelola majalah Dunia Pendidikan terdiri dari tokoh-tokoh PP Pergunu yang juga praktisi pendidikan. Antara lain Drs.Marjiin Syam (Pemimpim Umum/Pemimpin Redaksi), HA Chumaidy (Wakil Pemimpin Umum/Wakil Pemimpin Redaksi), Drs.Jamhari (Pemimpin Perusahaan). Isi majalah Dunia Pendidikan relatif bagus untuk ukuran media internal.

Pondok Pesantren Pabuaran

Namun nampaknya mengalami kesulitan pasokan naskah. Setiap terbit, redaksi DP memuat pengumuman,menantikan karya tulis pembaca, baik asli maupun terjemahan. Terutama menyangkut bidang pendidikan dan keguruan yang bersifat obyektif ilmiah. Mungkin tak banyak penulis yang mampu memenuhi ajakan tersebut. Sehingga pada penerbitan yang singkat itu, DP sering mengutip atau memuatkan kembali tulisan yang pernah dimuat di media lain. Misalnya, pada DP No.5, Agustus 1969, dimuat tulisan Prof. DR. Achmad Sanusi Suatu Komentar Tentang Struktur Politik Menurut UUD 1945 dan Pacasila, yang telah dimuat dalam majalah Budaya Jaya No. 13, Juni 1969. Mungkin alasan redaksi DP pemuatan ulang tulisan Prof DR Achmad Sanusi, selain karena kebutuhan naskah, juga karena sosok penulisnya sebagai Nahdliyin.

Pada th. 1965, Pak Achmad Sanusi terkenal sebagai tokoh Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami) yang berafiliasi kepada NU. Tahun 1965 juga, Pak Achmad Sanusi mendapat mandat dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat (Jabar) untuk menjadi Pemimpin Umum Mingguan Sunda Bandung. Mingguan (kemudian Majalah) Sunda merupakan media yang amat keras dan berani terang-terangan melawan PKI. Penerbitannya (syarat untuk mendapat izin terbit dan jatah kertas) harus mendapat restu partai politik. PWNU Jabarlah yang memberi restu kepada mingguan/majalah Sunda dengan menempatkan Prof. DR. Achmad Sanusi di situ. Yang menjadi Pemimpin Redaksi Mingguan/Majalah Sunda adalah sastrawan/budayawan terkenal Ajip Rosidi. Kekurangan naskah mungkin hanya faktor kecil saja yang membuat DP berhenti terbit. Gerakan de-parpolisasi pasti menjadi penyebab utama. Terutama menghadapi Pemilu 1971 yang mempopulerkan slogan Parpol No, Pembangunan Yes.

Departemen Agama menjadi sasaran terpenting untuk dilepaskan dari keterkaitan dengan NU. Melalui Gabungan Peningkatan Pembangunan Umat Islam (GUPPI) yang digulirkan Mayjen Ali Murtopo (Komandan Operasi Khusus Opsus dan Sekpri Presiden Soeharto), ikatan Depag, NU dan Pergunu langsung cerai berai. Beberapa tokoh Pergunu yang juga pengelola DP menjadi tokoh penting GUPPI. Antara lain Drs. Jamhari. Pergunu sendiri, lenyap dari percaturan oraganisasi profesi, setelah muncul aturan (larangan) hanya ada satu organisasi untuk tiap professi. Untuk guru, hanya PGRI yang diakui (untuk professi wartawan, hanya PWI saja).

Di tengah geliat kebebasan berorganisasi masa kini, tak mustahil Pergunu akan bangkit kembali. Siapa tahu, majalah Dunia Pendidikan juga akan ikut hadir dengan isi dan kemasan lebih baik. Menandai tradisi bermassmedia yang dimiliki NU sejak harian Duta Masyarakat, SKM Warta NU, jurnal Pesantren, dll yang pernah menatahkan jejak kreativitas dan intelektualitas para Nahdliyyin. (Usep Romli HM)

KH Usep Romli HM, lahir di Balubur Limbangan, Kab.Garut, 16 April 1949. Pengasuh Pesantren Raksa Sarakan ini menulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia, mulai kumpulan sajak, ceritera anak-anak, humor pedesaan, humor terjemah dari bahasa Arab, humor pesantren, novel, kumpulan cerpen, kumpulan pengalaman jurnalistik.

Ia dua kali mendapat Hadiah Rancage. Yang pertama, hadiah sastra, untuk karyanya Sanggeus Umur Tunggang Gunung th.2010 dan yang kedua hadiah jasa berkat pengabdian terhadap bahasa dan sastra Sunda th.2011. Di lingkungan NU, pernah menjabat penasihat Lajnah Talif wan Nasr PWNU Jabar (1996-2001). Masa mudanya, selain nyantri, pernah aktif di IPNU dan GP Ansor.

Dari (Fragmen) Nu Online: http://www.nu.or.id/post/read/50801/inilah-majalah-guru-nu-tahun-60-an

Minggu, 02 September 2012

Komitmen Kebangsaan Rakyat Indonesia

Bangsa Indonesia dijajah tak kurang dari 350 tahun atau tiga setengah abad. Jika negara ini resmi mendeklarasikan kemerdekaan pada 1945, itu artinya bangsa ini dijajah sejak sekitar tahun 1595 atau hampir sampai di pucuk abad ke-16.

Pada tahun tersebut, tak terhitung sejumlah peristiwa sejarah dari rakyat pribumi yang berupaya lepas dari cengkeraman penjajah hingga klimaksnya ketika terjadi pergerakan nasional di antara ulama, santri, dan para tokoh nasional. Langkah perlawanan yang dilakukan rakyat paling nampak ketika Wali Songo mendirikan sejumlah forum pengajian di sebuah tempat yang pada saat ini disebut pesantren.

Komitmen Kebangsaan Rakyat Indonesia (Sumber Gambar : Nu Online)
Komitmen Kebangsaan Rakyat Indonesia (Sumber Gambar : Nu Online)


Komitmen Kebangsaan Rakyat Indonesia

Bahkan lembaga pendidikan klasik dan orisinil khas Indonesia ini menjadi simbol perlawanan ketidakperikamanusiaan penjajah dengan menghadirkan semangat cinta tanah air (baca: kesalehan sosial) yang dibalut kencang dengan kasalehan spiritual. Perjuangan para wali dilanjutkan oleh para kiai pesantren yang tidak pernah berhenti melakukan pergerakan cantik melawan penjajah dengan menyemayamkan spirit nasionalisme dan agama.

Baik tokoh pergerakan nasional maupun para ulama Nusantara kala itu menjadi titik tolak rakyat pribumi dalam melangkahkan kaki dan hati. Bahkan sejumlah tokoh nasional seperti Ir Soekarno dan Panglima Besar Soedirman pun menjadikan para ulama pesantren seperti KH Muhammad Hasyim Asyari (1871-1947) sebagai tempat meminta petuah bagi perjuangannya.

Pondok Pesantren Pabuaran

Dalam konteks perjuangan melawan penjajah, bahkan KH Hasyim Asyari sendiri mengeluarkan imbauan dan fatwa haram ketika ada santrinya yang memakai baju seperti celana, jas, dan dasi karena menyerupai penjajah. Langkah ini bukan hanya menumbuhkan semangat perlawanan rakyat, tetapi juga menjaga spirit nasionalisme dalam koridor nilai-nilai agama yang berperikemanusiaan.

Simbol-simbol perlawanan lain dari rakyat pribumi terus dilakukan walaupun kerap berakhir dengan nyawa sebagai taruhan. Mereka bukan hanya patuh kepada para ulama, tetapi juga berkeinginan keras lepas dari kungkungan kolonialisme. Meskipun secara temporer kemerdekaan belum bisa diraih secara nasional, namun langkah ini menjadi pondasi bagi kemerdekaan hati menuju cita-cita kemerdekaan secara global.

Pondok Pesantren Pabuaran

Melihat perkembangan strategi melawan penjajah yang harus diubah, KH Abdul Wahid Hasyim (1914-1953) anak KH Hasyim Asyari melakukan langkah kompromi dengan penjajah. Bahasa Belanda atau asing yang turut dilarang diajarkan di pesantren sebagai salah satu simbol perlawanan kolonial pun dia pelajari hingga mahir. Langkah ini dilakukan agar strategi diplomatik Gus Wahid berjalan lancar.

Bahasa asing menurut Gus Wahid juga penting agar rakyat tidak lagi dibodohi oleh penjajah karena tidak bisa berbahasa Belanda atau Bahasa Jepang. Bukan hanya perubahan strategi dari sisi bahasa, tetapi juga pakaian yang dulu pernah dilarang keras oleh ayahnya. Gus Wahid justru sering memakai celana, jas, lengkap dengan dasi. Sikap terbuka ini menurutnya dapat memuluskan langkah diplomatik pembebasan rakyat karena penjajah secara simbolik akan menerima diplomasi Gus Wahid.

Bukan hanya perlawanan secara simbolik, tetapi rakyat juga melakukan perlawanan dari sisi aktivitas ekonomi kepada kolonialisme. Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia termasuk bangsa pekerja keras. Di tengah kondisi terjajah tentu tidak mudah melakukan sejumlah aktivitas yang berkenaan dengan penghidupan sehari-hari seperti berdagang, bertani, nelayan, dan usaha-usaha lainnya. Namun, para leluhur kita telah membuktikan bahwa dalam kondisi terjajah pun, mereka mampu meletakkan semangat juang tinggi. Semangat juang inilah yang pada akhirnya membawa bangsa Indonesia merengkuh kemerdekaannya.

Diriwayatkan oleh KH Saifuddin Zuhri (1919-1986) dalam buku karyanya Berangkat dari Pesantren, rakyat pribumi merupakan orang-orang pekerja keras sehingga hampir tidak ada pengangguran. Jika tidak petani umumnya kecil mereka juga pedagang meskipun juga kecil. Banyak perusahaan atau industri kecil tumbuh secara berdikari tanpa bantuan kredit dari pemerintah. Karena rakyat memandang, setiap bantuan kredit dari pemerintah selain mengikat juga disalurkan melalui bank kolonial yang dicap riba dan haram.

Dari uraian singkat di atas, perlawanan rakyat terhadap penjajah secara simbolik dan praktik tersebut membuktikan komitmen kebangsaan yang tinggi dibalut ikhtiar dan perjuangan tiada henti. Warisan berharga tersebut harus dijaga oleh bangsa Indonesia kini dengan terus berupaya menguatkan komitmen kebangsaan menuju Indonesia yang damai, adil, makmur, dan sejahtera. Seluruh elemen bangsa mesti bergandeng bersama untuk meneruskan perjuangan para leluhur dan founding fathers (pendiri bangsa). Semoga!

(Fathoni Ahmad)

Dari (Fragmen) Nu Online: http://www.nu.or.id/post/read/76103/komitmen-kebangsaan-rakyat-indonesia

Pondok Pesantren Pabuaran

Nonaktifkan Adblock Anda

Perlu anda ketahui bahwa pemilik situs Pondok Pesantren Pabuaran sangat membenci AdBlock dikarenakan iklan adalah satu-satunya penghasilan yang didapatkan oleh pemilik Pondok Pesantren Pabuaran. Oleh karena itu silahkan nonaktifkan extensi AdBlock anda untuk dapat mengakses situs ini.

Fitur Yang Tidak Dapat Dibuka Ketika Menggunakan AdBlock

  1. 1. Artikel
  2. 2. Video
  3. 3. Gambar
  4. 4. dll

Silahkan nonaktifkan terlebih dahulu Adblocker anda atau menggunakan browser lain untuk dapat menikmati fasilitas dan membaca tulisan Pondok Pesantren Pabuaran dengan nyaman.


Nonaktifkan Adblock