Kamis, 25 Agustus 2011

Hakikat Tanah untuk Fungsi Sosial, bukan Komersial

Yogyakarta, Pondok Pesantren Pabuaran. Ahad pagi (10/07) udara yang berhembus di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSP) Sleman Yogyakarta terasa sejuk. Beberapa kiai dan santri senior berjalan menuju serambi masjid di lingkungan pondok. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia, baik Jawa ataupun luar Jawa. Tujuan mereka, tak lain dan tak bukan, adalah untuk mengikuti acara Bahsul Masail Perpres 36/2005 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang diselenggarakan PPSP bekerjasama Forum Silahturahim Pesantren dan Petani (FSPP).

Dalam tradisi pesantren, bahtsul masail merupakan tradisi musyawarah di kalangan kyai dan santri untuk menetapkan hukum yang didasarkan atas kitab-kitab fiqih, yang sebagian besar ditulis pada abad-abad di masa kejayaan Islam masa lalu. Tak heran ratusan kitab kuning dipersiapkan oleh panitia untuk mendukung pembahasan dalam upaya menemukan kesimpulan shahih (kuat).

Pembahasan dalam bahtsul masail kali ini menyangkut kepentingan orang banyak (publik) sehingga banyak kalangan memberikan respons positif. Hal ini terlihat dari daftar hadir utusan dari pesantren dan kiai-kiai sepuh. Menariknya, bahtsul masail kali ini berbeda dengan tradisi yang selama ini berkembang. Umumnya masail lebih mendekatkan argumentasi berdasar pendapat ulama masyhur terdahulu yang termaktub dalam kitab kuning.

Sementara masail kali ini lebih mendekatkan pembahasan argumentatif dalam berbagai perspektif. Peserta masail diajak mengeksplorasi persoalan perpres 36/2005 ke dalam wilayah ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan, baik dalam konteks lokal maupun global. Terlebih varian pesertanya cukup mewakili berbagai segmen yang berkepentingan, antara lain petani.

Hakikat Tanah untuk Fungsi Sosial, bukan Komersial (Sumber Gambar : Nu Online)
Hakikat Tanah untuk Fungsi Sosial, bukan Komersial (Sumber Gambar : Nu Online)


Hakikat Tanah untuk Fungsi Sosial, bukan Komersial

Tidak Boleh Mencabut Hak Tanah

Ahad kemarin itu sejumlah kiai NU yang menggelar pertemuan di Pondok Pesantren (Ponpes) Pandanaran Sleman yang khusus membahas Perpres 36/ 2005 secara tegas menyatakan tidak boleh mencabut hak tanah dari hak milik seseorang. Pasalnya, pencabutan hak atas tanah yang dilakukan pemerintah sebagaimana diatur dalam Perpres tersebut dinilai tidak sah, karena dasar kepentingan umum dalam Perpres tidak mengakomodasi kepentingan pemilik tanah. Sedang ganti rugi tanah oleh pemerintah dititipkan di pengadilan yang disertai pemaksaan, berdasarkan sejumlah kitab fikih juga merupakan transaksi yang tidak sah dan dilarang dalam agama Islam. Karenanya, Perpres 36/2005 harus dibatalkan.

Demikian antara lain kesimpulan dalam bahtsul masail yang diikuti 150 orang mewakili Ponpes dan kelompok tani dari Jateng, Jatim, Jabar, Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Lampung, NTB dan Sulawesi Selatan, Sabtu-Minggu (9-10/7). Beberapa Kiai Sepuh yang hadir di antaranya KH Mahfudz Ridwan dari Salatiga, KH Mufidz Masud dari Sleman, KH Aziz Masyhuri dari Jombang, KH Aziz Azhury dari Magelang, dan KH Yahya Masduki dari Cirebon.

Pondok Pesantren Pabuaran

Musahih (Ketua Tim Pengesahan) hasil bahtsul masail, KH Aziz Masyhuri mengatakan, pada dasarnya jual beli yang dilakukan dengan cara paksa dengan dalih untuk kepentingan umum dan investor, tidak sah dan tidak dapat mengalihkan hak kepemilikan. Oleh sebab itu, pemilik tanah wajib mempertahankan dan mengambilnya kembali jika telah jatuh ke tangan orang yang tidak berhak.

Pondok Pesantren Pabuaran

Namun, jika ada alasan yang dibenarkan syariat dan telah memenuhi syarat tertentu, pemerintah berhak mencabut hak kepemilikan tanah meski melalui jual beli paksa. Misalnya dalam kondisi darurat, artinya tidak ada jalan lain kecuali harus mencabut hak kepemilikan tanah, tidak menimbulkan madharat terhadap kelompok tergusur, dan harus sesuai dengan harga yang adil dan kontan, jelasnya.

Mengenai penunjukan perwakilan warga oleh pihak pemerintah atau investor untuk bermusyawarah tentang ganti rugi tanah, lanjut Kiai Aziz, model perwakilan tersebut tidak sah. Sebab, yang berhak mewakilkan adalah orang yang memiliki hak milik atas benda yang dimusyawarahkan. Sistem perwakilan semacam itu juga membuat transaksi menjadi tidak sah.

Sementara itu malam sebelumnya digelar sarasehan. Pembicaranya Mochtar Masud, Nurhasan Ismail, dan KH Aziz Masyhuri. Guru besar ilmu politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Mochtar Masud mengungkapkan, Perpres 36/2005 merupakan bagian dari penyiapan infrastruktur yang didesakkan oleh para pemilik modal melalui negara untuk mengefektifkan akumulasi kapital. Akibatnya tanah hanya dihitung semata sebagai bagian dari materi yang harus dikapitalkan dan ditransaksikan, dan tidak lagi mempertimbangkan aspek sosial, budaya serta politik dari tanah, sehingga fungsi tanah mengalami pergeseran secara sistemik, ujarnya.

Pembicara lainnya, Nur Hasan SH MH berpendapat, Perpres 36/2005 lebih buruk dibanding Keppres No 55 Tahun 1993 yang masih jelas menetapkan kriteria kepentingan umum. Dalam Keppres itu disebutkan, yang dimaksud kepentingan umum adalah kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk menca

Dari (Warta) Nu Online: http://www.nu.or.id/post/read/3268/hakikat-tanah-untuk-fungsi-sosial-bukan-komersial

Pondok Pesantren Pabuaran

Menyajikan informasi secara lugas dan berimbang, disertai data-data yang akurat dan terpercaya.


EmoticonEmoticon

Nonaktifkan Adblock Anda

Perlu anda ketahui bahwa pemilik situs Pondok Pesantren Pabuaran sangat membenci AdBlock dikarenakan iklan adalah satu-satunya penghasilan yang didapatkan oleh pemilik Pondok Pesantren Pabuaran. Oleh karena itu silahkan nonaktifkan extensi AdBlock anda untuk dapat mengakses situs ini.

Fitur Yang Tidak Dapat Dibuka Ketika Menggunakan AdBlock

  1. 1. Artikel
  2. 2. Video
  3. 3. Gambar
  4. 4. dll

Silahkan nonaktifkan terlebih dahulu Adblocker anda atau menggunakan browser lain untuk dapat menikmati fasilitas dan membaca tulisan Pondok Pesantren Pabuaran dengan nyaman.


Nonaktifkan Adblock