Di pinggiran perbatasan Kecamatan Dander dan Kota Bojonegoro, tepatnya di Dusun Kedunggayam, Desa Karangsono, Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro terdapat satu Pondok Pesantren yang tampak sederhana. Setelah menempuh jarak 10 kilometer dari pusat Kota Bojonegoro, melewati jalan setapak sempit, di tengah rerimbunan pohon bambu dan di sekitar aliran sungai yang bergemiricik lengkap dengan bentangan sawahnya, terlihatlah bangunan Pondok Pesantren Hidayatul Islamiyah yang berdiri sejak tahun 1998 silam.
Sang pendiri, Kiai Khoiri Amin menceritakan, awal mula berdirinya Pesantren yang menempati tanah seluas lebih dari satu hektare ini.
Hidayatul Islamiyah, Pesantren yang Menyatu dengan Alam (Sumber Gambar : Nu Online) |
Hidayatul Islamiyah, Pesantren yang Menyatu dengan Alam
Dikatakan, semasa awal berdirinya Pesantren Hidayatul Islamiah santri yang ada hanya dua anak, Surip dan Syarifuddin. Selang beberapa tahun santri pun bertambah meskipun tidak seberapa banyak.Awalnya hanya ada dua santri, Surip dan Syarifuddin, tapi lama kelamaan berdatangan santri dari daerah-daerah di wilayah Bojonegoro hingga ada yang dari luar kota, jelas bapak empat anak ini.
Pondok Pesantren Pabuaran
Diceritakan, di pondok yang beliau asuh selain memberikan pendidikan yang berbasis wawasan keilmuan umum dan keagamaan juga memberikan wawasan bersosilisasi dengan masyarakat, pengembangan skill santri. Bahkan, santri juga dibimbing dan dibina hingga mereka berumah tangga.Pondok Pesantren Pabuaran
Sebagaimana santri pertama, Surip yang namanya diganti menjadi Syamsul Huda tetap tinggal di Pesantren hingga berumah tangga bahkan sampai akhir hidupnya. Surip saya ganti namanya jadi Syamsul Huda, dia wafat dan saya kubur di dekat pondok, ujar kiai lulusan Pesantren Talimul Quran, Gresik ini.Lebih lanjut pengasuh pesantren yang murah senyum ini menceritakan, degradasi moral bangsa menjadi faktor utama didirikannya pendidikan non formal berupa Pesantren Hidayatul Islamiah dan pendidikan formal setingkat Raudhotul Athfal (RA) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) . Menurut Kiai Choir, begitu beliau akrab dipanggil, perlu perhatian khusus pada karakter bangsa yang kian hari kian bobrok.
Sekarang banyak anak muda yang LKMD, alias lamar kari meteng disek (melamar belakangan, hamil duluan), ujarnya dengan nada bergurau tapi serius.
Dikatakan, saat ini moral bangsa sedang dipertaruhkan, menghadapi gencarnya budaya luar. Sebab itu, kiai ini menghimbau agar pendidikan karakter harus benar-benar diterapkan di pendidikan formal, jangan hanya sekadar wacana tanpa ada tindak lanjut. Moral bangsa harus benar-benar diberi perhatian khusus terutama pada lembaga-lembaga formal, jelasnya.
Nak de biyen akeh wong bender ra pathi pinter, tapi nak sak iki akeh wong pinter ra pathi bendher, ungkapnya berkelakar.
Dia menambahkan, pengaruh luar kerap kali meracuni pikiran masyarakat terutama kalangan remaja. Sehingga tak jarang mayoritas pemuda lupa akan hakikat kesederhanaan dan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat sebagai individu sosial.
Suasana Damai
Kegiatan di pondok yang letaknya terasing dari keramaian ini penuh dengan kesederhanaan, namun tetap dengan unsur spiritual yang kental sebagai nutrisi moral. Sehabis Shubuh, kegiatan mengaji kitab sorogan dilakukan. Uniknya kajian ini digelar di mana pun tempatnya, asal menyatu dengan alam. Baik itu di sawah, di sekitar kolam maupun di pekarangan dekat sungai. Tergantung, di mana saat itu sang kiai berada. Hal ini sebagai wujud belajar alami. Hal ini dimaksudkan agar para santri bisa mengamati alam dan mengambil itibar dari ayat-ayat kauniyah. Biar santri tahu, bahwa meraka hidup dengan alam yang wajib dijaga dan dilestarikan, ungkapnya.
Bukan hanya itu, kesederhanaan sangatlah tampak dari pondokan-pondokan santri yang terbuat dari kayu sederhana dengan luas sekitar 2x2 meter. Pondokan ini dikenal dengan istilah Rompok. Selain rutinitas kajian kitab wetondan salaf, santri juga belajar hidup dengan kegiatan pelatihan bercocok tanam, perikanan, dan perkebunan. Kegiatan tersebut sebagai analogi bahwa jiwa yang sehat terdapat pada badan yang kuat (Al-Aqlu As-Shalim fil Jismi As-Salim).
Sebagai bahan latihan bagi santri ketika terjun ke masyarakat, selain itu juga mengingatkan mereka bahwa jiwa yang sehat terdapat pada badan yang kuat, terang kiai asal Kepohbaru ini.
Selain mengkaji kitab salaf juga dilaksanakan pelatihan mukhadhoroh, dzibaan, tahlilan dan qosidah burdah di hari-hari khusus. Tak tanggung-tanggung, semua kegiatan, sarana dan pra sarana di pesantren ini tidak dipungut biaya sepeser pun alias gratis.
Santri pun berdatangan tidak hanya dari sekitar Kota Bojonegoro, namun juga berasal dari luar kota seperti Lamongan, Gresik, hingga merambah wilayah Jawa Tengah. (Nidhomatum MR)
Dari (Pendidikan Islam) Nu Online: http://www.nu.or.id/post/read/63392/hidayatul-islamiyah-pesantren-yang-menyatu-dengan-alam
Pondok Pesantren Pabuaran
EmoticonEmoticon